High Noon in Jakarta: Film Teladan Keberanian Seorang Presiden
Malam ke-10 Ramadhan tahun ini aku habiskan dengan menyimak (kembali) film dokumenter tentang Presiden #GusDur karya Curtis Levy berjudul 'Highnoon in Jakarta'. Film ini diproduksi dan ditayangkan Australian Broadcast Corporations (ABC). Merekam keberanian Presiden #GusDur dalam mengambil keputusan terkait pelanggaran HAM di Timor l'Este, yang libatkan militer Indonesia.
Menko Polkam era Presiden #GusDur, Wiranto dianggap terlibat dan harus bertanggung jawab mengingat posisi dia sebagai pemegang pucuk pimpinan militer ketika peristiwa itu terjadi. #GusDur akhirnya menonaktifkan Jendral Wiranto dari posisinya sebagai Menko Polkam, dalam situasi politik dimana Presiden (sebenarnya) butuh back-up militer secara politik, mengingat posisi pemerintahan transisi kala itu. Keputusan yang didasarkan semata untuk kepentingan Indonesia sebagai negara berdaulat, dan harus menghormati HAM. Selain itu, #GusDur yang lagi gencar menggalang dukungan investasi internasional juga tak ingin tersandra oleh keberadaan anggota cabinet yang dianggap bermasalah.
Dan Keputusan pun diambil. Wiranto dinonaktifkan. Keberanian #GusDur itu oleh Levy disandingkn dengan keberanian dan kesatriaan seorang sheriff (dalam film 'High Noon'), sendirian melawan bandit yang menantang duel di siang bolong. Untuk membuat film documenter ini, Levy membutuhkan waktu 4 bulan, termasuk mengikuti perjalanan #GusDur selama 15 hari ke Eropa/Asia. Dalam kunjungan resmi kenegaraan ini Levy menggambarkan bagaimana situasi diplomasi menghadapi opini internasional terkait kasus Timor.
Kenapa film ini diberi judul ‘Hughnoon in Jakarta?’ Pertama Levy menilai ada kemiripan karakter keberanian (brave) antara #GusDur dengan tokoh Sheriff dalam film 'Highnoon'. Kedua, dalam masa-masa kritis menghadapi masalah ini #GusDur (ketika nyantai dan berolah raga jalan pagi di pagi buta) sering bersenandung lagu yang menjadi soundtrax film ‘Hughnoon’ yang diciptakan Text Ritter. Syairnya sangat menggambarkan situasi pelik saat itu: "I do not know what fate awaits me. I only know I must be brave n I must face the man who hates me, now that I need you by my side" (Aku tak tahu, takdir apa yang kini sedang menunggu. Yang aku tahu hanyalah, aku harus berani , menghadapi dia yang sedang membenciku. Setelah itu, aku membutuhkanmu di sisiku…).
Di bagian akhir film berdurasi 59 menit itu, kepada para pengawalnya #GusDur bercerita, bahwa sang sheriff akhirnya berangkat menuju stasiun kereta, tempat dimana dia harus berduel dengan sang bandit yang akan menuntut balas. Padahal di hari itu pula, dia akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya.
"Do not forsake me, oh my darling. I must be brave..." (Jangan tinggalkan aku, sayang. Karena --saat ini-- aku harus berani …). Lyric pesan cinta dari sang sherif itu ditirukan dan juga ditiru #GusDur di alam nyata untuk berani menghadapi resiko apapun demi Indonesia tercinta. Sebuah teladan keberanian bagi seorang pemimpin. We love you too, Gus…. :’(
Menko Polkam era Presiden #GusDur, Wiranto dianggap terlibat dan harus bertanggung jawab mengingat posisi dia sebagai pemegang pucuk pimpinan militer ketika peristiwa itu terjadi. #GusDur akhirnya menonaktifkan Jendral Wiranto dari posisinya sebagai Menko Polkam, dalam situasi politik dimana Presiden (sebenarnya) butuh back-up militer secara politik, mengingat posisi pemerintahan transisi kala itu. Keputusan yang didasarkan semata untuk kepentingan Indonesia sebagai negara berdaulat, dan harus menghormati HAM. Selain itu, #GusDur yang lagi gencar menggalang dukungan investasi internasional juga tak ingin tersandra oleh keberadaan anggota cabinet yang dianggap bermasalah.
Dan Keputusan pun diambil. Wiranto dinonaktifkan. Keberanian #GusDur itu oleh Levy disandingkn dengan keberanian dan kesatriaan seorang sheriff (dalam film 'High Noon'), sendirian melawan bandit yang menantang duel di siang bolong. Untuk membuat film documenter ini, Levy membutuhkan waktu 4 bulan, termasuk mengikuti perjalanan #GusDur selama 15 hari ke Eropa/Asia. Dalam kunjungan resmi kenegaraan ini Levy menggambarkan bagaimana situasi diplomasi menghadapi opini internasional terkait kasus Timor.
Kenapa film ini diberi judul ‘Hughnoon in Jakarta?’ Pertama Levy menilai ada kemiripan karakter keberanian (brave) antara #GusDur dengan tokoh Sheriff dalam film 'Highnoon'. Kedua, dalam masa-masa kritis menghadapi masalah ini #GusDur (ketika nyantai dan berolah raga jalan pagi di pagi buta) sering bersenandung lagu yang menjadi soundtrax film ‘Hughnoon’ yang diciptakan Text Ritter. Syairnya sangat menggambarkan situasi pelik saat itu: "I do not know what fate awaits me. I only know I must be brave n I must face the man who hates me, now that I need you by my side" (Aku tak tahu, takdir apa yang kini sedang menunggu. Yang aku tahu hanyalah, aku harus berani , menghadapi dia yang sedang membenciku. Setelah itu, aku membutuhkanmu di sisiku…).
Di bagian akhir film berdurasi 59 menit itu, kepada para pengawalnya #GusDur bercerita, bahwa sang sheriff akhirnya berangkat menuju stasiun kereta, tempat dimana dia harus berduel dengan sang bandit yang akan menuntut balas. Padahal di hari itu pula, dia akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya.
"Do not forsake me, oh my darling. I must be brave..." (Jangan tinggalkan aku, sayang. Karena --saat ini-- aku harus berani …). Lyric pesan cinta dari sang sherif itu ditirukan dan juga ditiru #GusDur di alam nyata untuk berani menghadapi resiko apapun demi Indonesia tercinta. Sebuah teladan keberanian bagi seorang pemimpin. We love you too, Gus…. :’(
Comments