Particular Sunnisme, Aswaja Ala Hadratus Syekh
Sehari sebelum NU berusia 85 tahun (hitungan milady), saya diundang sahabat saya, Dr. M. Muhibbin Zuhri untuk memandu sebuah diskusi buku. "Ala Talkshow TV," katanya berpesan. Bagi saya ini istimewa, karena yang dibedah adalah buku yang disusun dari disertasi doktoral dia di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Apalagi, tema buku mengupas soal Pemikiran KH M Hasyim Asy’ari tentang Ahlussunnah Wajamaah. Maka berlangsunglah 'talkshow buku" itu di Museum NU, pada Minggu, 30 Januari lalu.
Sebagaimana dilaporkan Koran Duta Masyarakat, dalam diskusi tersebut terungkap adanya dialektika Islam dengan tradisi, budaya dan pemikiran yang berkembang di masyarakat setempat. Banyak nilai-nilai yang bisa dipetik dan diterapkan dari ideologi Keislaman yang dibangun KH Hasyim Asy’ari saat mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Hanya saja, implementasi dari paradigma berdasarkan ajaran Sunni itu belum banyak dilakukan.
Wajah Sunni NU sangat dipengaruhi paradigma Ahlussunnah waljamaah (Aswaja) KH Hasyim Asy’ari. Penelitian yang dilakukan Dr H Achmad Muhibbin Zuhri MAg untuk disertasi program doktoralnya menemukan, corak Sunni KH Hasyim Asy’ari sangat khas dan tidak sebangun persis dengan konstruksi Sunni era awal. Meski demikian, dalam banyak hal, ideologi yang dibangun Mbah Hasyim tetap mencerminkan pola ajaran Sunni.
“Mbah Hasyim membangun paradigma Islam lokal yang kolaboratif. Di satu sisi, ajaran Islam dijalankan sesuai akidah. Namun ajaran itu dikolaborasikan dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat sehingga bisa diterima masyarakat dengan mudah,” kata Muhibbin.
Muhibbin mengatakan, dalam pemikirannya, Mbah Hasyim memang banyak membela kaum Islam tradisionalis di Indonesia. Namun tidak jarang pula, Mbah Hasyim mengkritik keras Islam tradisionalis jika apa yang dilakukan sudah menyimpang dari ajaran agama.
Sebagai contoh, NU mengenal tradisi kenduri, tahlilan, perayaan Maulid serta peringatan tiga hari atau tujuh hari pasca-kematian. Namun, Mbah Hasyim sangat menentang jika kegiatan tersebut dicampur hal-hal yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Seperti tradisi perayaan Sekaten yang digelar setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
“Jika tidak sesuai dengan ajaran agama, Mbah Hasyim tidak segan-segan melarang dijalankannya sebuah tradisi,” kata Muhibbin.
Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof Dr Nur Syam, mengatakan KH Hasyim Asy’ari termasuk ulama yang belajar langsung tentang Sunni di Arab. Namun begitu kembali ke Indonesia, ia tidak menerapkan ajaran itu mentah-mentah. Faktor budaya dan tradisi masyarakat setempat tetap diperhatikan dalam mengajarkan agama.
“Implikasi dari ilmu yang diperoleh di Arab tetap disesuaikan dengan kondisi di Indonesia,” kata Nur Syam.
Menurut Nur Syam, hal itu terjadi karena saat Islam masuk ke Indonesia, sudah ada budaya dan tradisi yang melekat kuat di masyarakat. Inilah mengapa, secara perilaku, Islam di Indonesia berbeda dengan Islam di Arab.
“Ini wujud dialektika Islam dengan tradisi, budaya dan pemikiran yang berkembang di sini,” kata Nur Syam.
Sementara Wakil Ketua Umum PBNU, KH As’ad Said Ali, menilai pemikiran KH Hasyim Asy’ari yang selalu menjadi penengah memiliki implikasi pada keberadaan NU sebagai organisasi yang independen. As’ad Said menyebutkan, ada tiga pilar utama yang menjadi dasar NU. Pertama, terkait politik kebangsaan.
“Dalam hal ini, NU bersifat strategis dan taktis. Secara strategis, NU sangat tegas dan memiliki komitmen terhadap fiqih agama. Sedangkan secara taktis, NU bisa fleksibel,” kata As’ad Said.
Kedua, dalam konteks kebangsaan, NU selalu bergandengan tangan dengan TNI karena sama-sama mendukung negara. Jika terjadi kekacauan politik dan keamanan di negeri ini, NU selalu berada di belakang mereka yang mendukung bangsa.
“Artinya, NU tidak berpihak pada pemerintah maupun oposisi. NU selalu berpihak pada mereka yang mendukung bangsa. Di sinilah letak independensi NU,” kata As’ad Said.
Ketiga, NU ikut meningkatkan kemampuan ekonomi umat. Dalam hal ini, NU berupaya agar taraf hidup masyarakat kelas menengah ke bawah bisa ikut terangkat. Misalnya, menghubungkan badan usaha milik negara (BUMN) dengan usaha kecil menengah (UKM). Sesuatu yang menurut As’ad Said belum banyak dilakukan pemerintah.
“Sebenarnya banyak pemikiran Mbah Hasyim yang bisa diterapkan. Namun pemikiran itu akan hilang jika kita tidak menjalankannya,” kata As’ad Said.
Sumber: http://www.dutamasyarakat.com/artikel-33504-ideologi-kolaboratif-dalam-pemikiran-mbah-hasyim.html
Sebagaimana dilaporkan Koran Duta Masyarakat, dalam diskusi tersebut terungkap adanya dialektika Islam dengan tradisi, budaya dan pemikiran yang berkembang di masyarakat setempat. Banyak nilai-nilai yang bisa dipetik dan diterapkan dari ideologi Keislaman yang dibangun KH Hasyim Asy’ari saat mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Hanya saja, implementasi dari paradigma berdasarkan ajaran Sunni itu belum banyak dilakukan.
Wajah Sunni NU sangat dipengaruhi paradigma Ahlussunnah waljamaah (Aswaja) KH Hasyim Asy’ari. Penelitian yang dilakukan Dr H Achmad Muhibbin Zuhri MAg untuk disertasi program doktoralnya menemukan, corak Sunni KH Hasyim Asy’ari sangat khas dan tidak sebangun persis dengan konstruksi Sunni era awal. Meski demikian, dalam banyak hal, ideologi yang dibangun Mbah Hasyim tetap mencerminkan pola ajaran Sunni.
“Mbah Hasyim membangun paradigma Islam lokal yang kolaboratif. Di satu sisi, ajaran Islam dijalankan sesuai akidah. Namun ajaran itu dikolaborasikan dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat sehingga bisa diterima masyarakat dengan mudah,” kata Muhibbin.
Muhibbin mengatakan, dalam pemikirannya, Mbah Hasyim memang banyak membela kaum Islam tradisionalis di Indonesia. Namun tidak jarang pula, Mbah Hasyim mengkritik keras Islam tradisionalis jika apa yang dilakukan sudah menyimpang dari ajaran agama.
Sebagai contoh, NU mengenal tradisi kenduri, tahlilan, perayaan Maulid serta peringatan tiga hari atau tujuh hari pasca-kematian. Namun, Mbah Hasyim sangat menentang jika kegiatan tersebut dicampur hal-hal yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Seperti tradisi perayaan Sekaten yang digelar setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
“Jika tidak sesuai dengan ajaran agama, Mbah Hasyim tidak segan-segan melarang dijalankannya sebuah tradisi,” kata Muhibbin.
Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof Dr Nur Syam, mengatakan KH Hasyim Asy’ari termasuk ulama yang belajar langsung tentang Sunni di Arab. Namun begitu kembali ke Indonesia, ia tidak menerapkan ajaran itu mentah-mentah. Faktor budaya dan tradisi masyarakat setempat tetap diperhatikan dalam mengajarkan agama.
“Implikasi dari ilmu yang diperoleh di Arab tetap disesuaikan dengan kondisi di Indonesia,” kata Nur Syam.
Menurut Nur Syam, hal itu terjadi karena saat Islam masuk ke Indonesia, sudah ada budaya dan tradisi yang melekat kuat di masyarakat. Inilah mengapa, secara perilaku, Islam di Indonesia berbeda dengan Islam di Arab.
“Ini wujud dialektika Islam dengan tradisi, budaya dan pemikiran yang berkembang di sini,” kata Nur Syam.
Sementara Wakil Ketua Umum PBNU, KH As’ad Said Ali, menilai pemikiran KH Hasyim Asy’ari yang selalu menjadi penengah memiliki implikasi pada keberadaan NU sebagai organisasi yang independen. As’ad Said menyebutkan, ada tiga pilar utama yang menjadi dasar NU. Pertama, terkait politik kebangsaan.
“Dalam hal ini, NU bersifat strategis dan taktis. Secara strategis, NU sangat tegas dan memiliki komitmen terhadap fiqih agama. Sedangkan secara taktis, NU bisa fleksibel,” kata As’ad Said.
Kedua, dalam konteks kebangsaan, NU selalu bergandengan tangan dengan TNI karena sama-sama mendukung negara. Jika terjadi kekacauan politik dan keamanan di negeri ini, NU selalu berada di belakang mereka yang mendukung bangsa.
“Artinya, NU tidak berpihak pada pemerintah maupun oposisi. NU selalu berpihak pada mereka yang mendukung bangsa. Di sinilah letak independensi NU,” kata As’ad Said.
Ketiga, NU ikut meningkatkan kemampuan ekonomi umat. Dalam hal ini, NU berupaya agar taraf hidup masyarakat kelas menengah ke bawah bisa ikut terangkat. Misalnya, menghubungkan badan usaha milik negara (BUMN) dengan usaha kecil menengah (UKM). Sesuatu yang menurut As’ad Said belum banyak dilakukan pemerintah.
“Sebenarnya banyak pemikiran Mbah Hasyim yang bisa diterapkan. Namun pemikiran itu akan hilang jika kita tidak menjalankannya,” kata As’ad Said.
Sumber: http://www.dutamasyarakat.com/artikel-33504-ideologi-kolaboratif-dalam-pemikiran-mbah-hasyim.html
Comments