Banjir Kok (dianggap) Biasa.... Bangkit, Dong!

Kejadian itu kembali terulang. Tanggal 9 hingga 11 Januari 2010 lalu, Banjir melanda Pasuruan. Di Kota Pasuruan, banjir merendam sawah dan rumah warga, serta jalan raya Karangketug, di wilayah Kecamatan Gadingrejo. Sedangkan di Kabupaten Pasuruan, banjir merendam desa-desa di wilayah Kecamatan Pohjentrek, Kraton, Pandaan, Rembang, dan Bangil.
Akibat banjir tersebut sebanyak 5.713 rumah warga terendam yang 14 di antaranya rusak berat dan ringan. Tiga orang meninggal,sedangkan satu orang dinyatakan hilang. Tiga korban meninggal masing-masing, Suyanto, warga Desa Sebani, Kecamatan Pandaan, meninggal setelah disambar petir saat hujan lebat yang mengakibatkan banjir. Tirto Utomo, seorang warga Desa Kebonwaris, Kecamatan Pandaan ditemukan tewas setelah terseret arus banjir. Sedangkan Rohman warga Desa Kalirejo, Kecamatan Bangil ditemukan tewas setelah terseret arus banjir, dan Ihya Ulumuddin, warga Desa Kesrikan, Kecamatan Bangil hilang terseret arus banjir (sumber: ANTARA).


Apa penyebabnya?
Banjir bandang yang menenggelamkan 7.000 rumah tersebut disebabkan rusaknya hutan lindung di lereng Gunung Arjuno, akibat kebakaran dan penjarahan. Banjir terjadi karena hutan di lereng Gunung Arjuno terbuka sehingga tak bisa menahan air hujan. Akibatnya, air hujan langsung memenuhi sejumlah sungai yang kawasan hulunya berada di lereng Gunung Arjuno seperti Sungai Kedung Larangan. Tahun depan, Banjir hanya bisa dicegah jika hutan kembali hijau.
Menurut Data dari Yayasan Kaliandra Sejati, Luas hutan lindung yang berada di Pasuruan, terutama yang berada di Taman Nasional Taman Hutan Rakyat (Tahura) Raden Soerjo dan Perum Perhutani mencapai 15.603 hektar. Namun, seluas 5.000 hektar merupakan lahan kritis. Bahkan, luas hutan yang rusak diperkirakan akan semakin meluas menyusul kebakaran hutan Tahura R Soerjo selama musim kemarau lalu. (Sumber: Tempointeraktif)

Harus Melakukan Apa? Saat ini tak butuh lagi retorika. Yang dibutuhkan adalah menanam, memulihkan kembali 5000 hektar lahan kritis dengan menanam berbagai tanaman yang mampu menahan bertambahnya kawasan tanah longsor. Penanaman kembali kawasan hutan lindung yang rusak tersebut tak bisa dikerjakan dalam tempo singkat. Butuh waktu puluhan tahun untuk mengembalikan hutan lindung tersebut.
Di sinilah perlu keterlibatan semua pihak, khususnya kekuatan civil society dan kekuatan dunia usaha di sekitar wilayah banjir untuk melakukan pemulihan kondisi lahan kritis penyebab banjir tersebut. Perusahaan swasta, terutama yang melakukan eksplorasi sumber daya air dan pemanfaatan sumber daya alam lainnya harus juga bertanggung jawab bersama masyarakat melakukan program penyelamatan. Pemerintah dan Perum Perhutani juga harus mulai mengubah strategi penanganan banjir, dan harus bergerak lebih cepat, tidak malah saling lempar tanggung jawab.

Langkah bersama diperlukan. Penyatuan visi dan pembagian tugas juga perlu diupayakan. Program terpadu, yang melibatkan masyarakat juga perlu digalang. Upaya menggandeng masyarakat di sekitar hutan untuk mengembangkan ekonomi produktif di luar kawasan hutan masih dianggaplangkah efektif, walau itu tak mudah. Harus sudah mulai diwujudkan adanya masyarakat yang berdaya, terampil menjalankan sistim pertanian intensif, peternakan dan pembuatan arang, misalnya dengan memanfaatkan limbah industri tanpa menjarah hutan (lagi). Pasti bisa, asal kita bangkit bersama.

Comments

Popular posts from this blog

Obituari Kyai Mukhlason: 'Lentera' Itu Telah Padam

Darul Ulum Tetap Jaya, yang Melegenda

Pesantren, Mata Rantai Ilmu dan Obsesi Para Shaleh Terdahulu