Kedigdayaan Media, Keberdayaan Pemirsa
Lihatlah betapa senangnya para penggemar bola ketika televisi menyajikan siaran langsung Piala Dunia (World Cup 2006) tanpa harus terbang ke Jerman di Eropa
Selain faktor teknologi, sistem media di
Bila dilihat Hasil Survey Audience Rating (tingkat kepemirsaan pemirsa) ACNielsen
Masih dominannya tayangan hiburan dalam media televisi kita menunjukkan kuatnya permintaan pemirsa terhadap acara hiburan. Sementara pemirsa jarang sekali melakukan seleksi terhadap tema dan nilai-nilai yang dibawa dalam sinetron-sinetron yang ada. Menurut Model Komunikasi Pengaruh TV Comstock, tayangan dalam televisi (TV Action) bisa berpengaruh terhadap perilaku personal. Setiap tayangan televisi menyebabkan getaran-getaran (arousal) dalam hati setiap pemirsa berupa motivasi yang akan berakibat pada kemungkinan untuk meniru. Namun kemungkinan itu, tergantung pada dua hal: konsekuensi bila dilakukan dan persepsi tentang realitas yang terjadi di lingkungan pemirsa. Menurut Comstock, kemungkinan itu akan berlanjut bila ada peluang untuk melaksanakannya, yakni ketika konsekuensi dan realitas turut mendukung. Begitu digdaya dan kuatnya media untuk mempengaruhi pemirsanya.
Mengacu pada model komunikasi tersebut, maka nilai, sikap, perilaku bahkan tujuan dan orientasi hidup yang dibawakan dalam sebuah sinetron sangat memungkinkan untuk diikuti oleh pemirsanya. Padahal pembuatan sinetron hampir semuanya ber-setting metropolitan, dimana etika pergaulan cenderung bebas, pola hubungan cenderung materialistis. Di sinilah letak arti penting kesesuaian budaya antara tayangan televisi dan budaya yang berkembang di masyarakat. Hampir seluruh televisi di
Kekhawatiran akibat tayangan media, solusinya kembali kepada pemirsanya. Setiap pengelola TV akan tunduk pada kemauan pasar (dikenal dengan istilah market driven). Stasiun televisi akan meningkatkan program tayangan yang memiliki rating yang tinggi, dan akan mengurangi (bahkan membuang) tayangan yang ratingnya rendah. Acara yang memiliki rating tinggi akan banyak dilirik oleh pemasang iklan. Mereka para pengiklan menginginkan promosi produk dalam iklannya bisa terjamin dilihat oleh jutaan mata di seluruh nusantara. Bila produknya dikenal, maka tingkat penjualan terhadap produk itupun akan meningkat.
Justru pemirsa yang menjadi penentu sebuah acara bisa bertahan di layar kaca. Nasib sebuah program televisi tergantung pada remote TV anda. Bila tayangan tidak sesuai norma dan nilai, jangan ditonton rame-rame, sehingga bisa menurunkan rating acara tersebut. Tetapi gerakan semacam ini membutuhkan mobilisasi dan kampanye yang cukup rumit dan panjang karena menyangkut privacy dan hoby jutaan orang. Namun semua menjadi mungkin, kalau ada yang mengorganisir secara nasional. Kalau pengelola TV sudah memiliki asosiasi, kenapa pemirsa sebagai market dan target TV, tidak memiliki pula. Melalui asosiasi pemirsa ini, maka posisi masyarakat akan sejajar dengan KPI dan Asosiasi TV dalam menentukan program acara yang baik bagi masyarakat.
Lebih maju lagi, Undang-undang Penyiaran Nomor 32/2002 bahkan mendorong munculnya televisi lokal dengan tujuan memperdekat jarak antara pemirsa dengan pengelolanya, sehingga ada ketersambungan kultural yang khas. Hubungan antara pengelola televisi dan pengiklan dengan pemirsa menjadi tidak hanya hubungan ekonomis, tetapi dapat juga membangun semangat membangun daerah, sarana ruang publik (public sphare), pendidikan, kontrol sosial dan juga dakwah.
Akhirnya, keberdayaan masyarakat merupakan tema yang harus selalu diperjuangkan. Dalam hubungannya dengan media, harus ada gerakan pemahaman tentang hak-hak pemirsa dan konsumen media yang bahkan telah dilindungi undang-undang. Agar pemirsa kita, menjadi pemirsa yang melek (jw) media.
Comments